
KURUSETRA — Salam Sedulur… Dalam kearifan lokal masyarakat Jawa, malam 1 Suro bukan sekadar pergantian hari dalam penanggalan Jawa. Ia adalah momentum sakral, penuh keheningan, renungan, bahkan kewaspadaan spiritual. Salah satu mitos yang kerap mencuat menjelang malam ini adalah kepercayaan mengenai 11 weton Tulang Wangi, sosok-sosok yang dipercaya memiliki “bau” gaib dan nasib yang tidak biasa.
Kepercayaan ini hidup dalam tradisi lisan masyarakat Jawa dan diwariskan lintas generasi. Tapi apa sebenarnya weton Tulang Wangi itu? Mengapa ia dikaitkan erat dengan malam 1 Suro, malam yang dianggap sebagai titik pergantian energi besar dalam kepercayaan Kejawen?
Mengenal Weton dan Perhitungannya dalam Budaya Jawa
Weton adalah sistem penanggalan khas masyarakat Jawa yang merupakan gabungan dari hari dalam kalender Masehi (Senin hingga Minggu) dengan hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Dengan kombinasi keduanya, terdapat total 35 kemungkinan weton.
Setiap weton diyakini membawa karakter, keberuntungan, bahkan “garis hidup” seseorang. Weton bukan sekadar tanggal lahir, tetapi peta metafisis kehidupan menurut kepercayaan Jawa. Penentuan hari baik, perjodohan, rejeki, hingga kematian, semuanya dirujuk dari weton seseorang.
Apa Itu Weton Tulang Wangi?
Istilah Tulang Wangi secara harfiah berarti “tulang yang harum”, tetapi dalam makna spiritual, ia merujuk pada orang yang dianggap memiliki aura khusus, disukai makhluk halus, atau bahkan dianggap punya “daya tarik gaib”, baik positif maupun negatif.
Weton Tulang Wangi diyakini berjumlah 11 weton tertentu, dan dalam mitologi masyarakat Jawa, mereka yang lahir pada weton-weton ini dipercaya memiliki “bekas gaib” atau kekuatan spiritual alami. Tidak sedikit yang percaya bahwa orang dengan weton ini:
1. Bisa menjadi pemimpin karismatik
2. Rentan terhadap gangguan makhluk halus
3. Punya jalan hidup berat tapi penuh “takdir besar”
4. Jika wafat, jasadnya memancarkan bau harum atau tetap utuh
5. Bisa menjadi sosok penting dalam laku tapa atau ritual-ritual adat
Meski tidak ada naskah kuno yang benar-benar mengafirmasi daftar 11 weton ini, beberapa sumber lisan dan primbon menyebutkan kombinasi berikut yang sering diasosiasikan sebagai Tulang Wangi:
1. Jumat Kliwon
2. Selasa Kliwon
3. Kamis Legi
4. Senin Pon
5. Rabu Pahing
6. Minggu Wage
7. Sabtu Pon
8. Jumat Legi
9. Senin Kliwon
10. Kamis Pon
11. Rabu Legi
Meski begitu, tidak semua praktisi kejawen sepakat terhadap daftar ini. Beberapa menyebut ada variasi menurut masing-masing daerah seperti Yogyakarta, Solo, atau Banyumas.
Kaitannya dengan Malam 1 Suro
1 Suro, atau 1 Muharram dalam kalender Hijriah, adalah malam pergantian tahun Jawa yang sangat sakral. Dalam tradisi keraton Yogyakarta dan Surakarta, malam ini dirayakan dengan berbagai ritual seperti kirab pusaka, tirakatan, lelaku tapa bisu, dan zikir akbar.
Bagi kalangan spiritual Kejawen, malam ini adalah titik di mana energi kosmis alam berubah, dan makhluk halus dipercaya “keluar” atau lebih aktif dari biasanya. Karena itu, orang-orang yang dianggap memiliki “keterbukaan spiritual” seperti pemilik weton Tulang Wangi menjadi pusat perhatian, karena diyakini lebih sensitif terhadap energi malam 1 Suro.
Tak jarang, mereka yang lahir dalam 11 weton tersebut dilarang keluar rumah malam 1 Suro, disarankan untuk berdiam dan melindungi diri dengan doa atau laku spiritual tertentu. Dalam beberapa keluarga adat, bahkan dilakukan ritual penghindaran atau perlindungan khusus untuk anak-anak dengan weton tersebut.
Asal Usul Mitos dan Akarnya dalam Sejarah
Konsep “tulang wangi” sesungguhnya memiliki akar panjang. Dalam berbagai kisah sejarah dan babad, tokoh-tokoh seperti Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, bahkan Pangeran Diponegoro, disebut memiliki ciri-ciri “tulang wangi”. Mereka berani, karismatik, dan menjalani laku spiritual ekstrem—berdekatan dengan kekuatan supranatural.
Menurut pakar budaya Jawa dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Suroso Mulyadi, istilah “tulang wangi” kemungkinan berasal dari tradisi Hindu-Buddha yang meyakini bahwa aroma tubuh orang suci akan tetap harum meski telah meninggal dunia. Kepercayaan ini kemudian mengalami akulturasi dengan Islam Jawa dan menjadi bagian dari mitos weton.
Antara Kepercayaan dan Realitas Sosial
Seiring berkembangnya zaman, keyakinan terhadap weton Tulang Wangi memang mengalami penyesuaian. Di kota-kota besar, mitos ini mungkin hanya tinggal cerita. Namun di desa-desa, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, kepercayaan ini masih kuat.
Banyak keluarga yang berkonsultasi dengan dukun bayi, juru kunci makam, atau pemangku adat sebelum memberi nama anak atau memilih tanggal hajatan. Jika anak lahir dengan salah satu dari 11 weton tersebut, maka akan dilakukan “ritual penetral” agar kelak anak tidak mengalami gangguan atau nasib buruk.
Simbolisme dan Makna Budaya
Mitos 11 weton Tulang Wangi bukan hanya cerita mistis. Ia adalah simbol bagaimana orang Jawa memahami kehidupan sebagai keseimbangan antara lahir dan batin, antara dunia nyata dan gaib. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa tidak semua manusia sama: ada yang membawa “beban” atau “kutukan” spiritual, namun juga punya potensi luar biasa jika mampu mengelola dirinya. meski begitu kepercayaan terhadap weton bersifat mitologis dan bukan ajaran agama formal.
Malam 1 Suro, dalam hal ini, menjadi momen kontemplatif, bukan hanya untuk ritual, tetapi sebagai bentuk kesadaran bahwa hidup tidak hanya dijalani, tapi juga dijaga dan direnungkan. Di balik keheningan 1 Suro, tersembunyi nilai-nilai seperti introspeksi, kerendahan hati, dan pengendalian diri.
Weton Tulang Wangi dan malam 1 Suro adalah dua elemen penting dalam kosmologi budaya Jawa. Di tengah gempuran modernisasi, kepercayaan ini masih bertahan, tidak semata sebagai takhayul, tapi sebagai warisan kultural yang mengajarkan nilai-nilai spiritualitas dan penghormatan terhadap semesta.
Seperti kata pepatah Jawa: “Urip iku mung mampir ngombe, nanging sing ngombe kudu ngerti rasa banyune.” (Hidup itu hanya singgah untuk minum, tapi yang minum harus tahu rasa airnya.)
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
