Sejak Era Tarumanegara dan Hindia Belanda, Jakarta Ditakdirkan untuk Jadi Kota Banjir
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sepanjang Februari hujan tak selesai-selesai turun di Jakarta. Di beberapa wilayah genangan air yang menyebabkan banjir masih tersebut sehingga masih ada masyarakat yang rumahnya kebanjiran terpaksa mengungsi. Banjir di Jakarta memang tidak pernah usai meski berganti gubernur, bahkan sejak era Gubernur Hindia Belanda JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer. Mereka gagal mengatasi banjir di Batavia.
Ada 66 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia, tetapi tidak ada yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini. JP Coen bisa jadi menjadi biang kerok karena mendirikan kota Batavia di atas rawa-rawa. Sebab jika Coen memilih wilayah yang lebih tinggi ketika mendirikan Batavia, setidaknya banjir tidak memusingkan para penggantinya.
BACA JUGA: Jadi Google Doodle, Mengapa Didi Kempot Dijuluki Godfather of Broken Hearts?
Banjir paling besar di Jakarta terjadi pada 1872, sehingga Sluisburg (Pintu Air) di depan Masjid Istiqlal sekarang ini jebol. Kita tidak tahu bagaimana banjir besar ratusan tahun lallu itu dibandingkan dengan banjir sekarang, tetapi yang pasti saat itu Sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl Gajah Madah dan Hayam Wuruk.
Karena itu Pemerintah Hindia Belanda berusaha membuat Batavia bebas dari Banjir dengan membangun Banjir Kanal Barat. sayangnya BKB kurang efektif karena penduduk Batavia sudah membludak dan banyak wilayah yang sudah terbangun menjadi perumahan.
BACA JUGA: Apakah Hukum Pajak dalam Islam Haram? Ini Kata Ustadz Khalid Basalamah dan Quraish Shihab
Sekarang ini penduduk Jakarta sudah puluhan juta jiwa dan tanpa memperhitungkan bahaya banjir, banyak di antara penduduk Ibu Kota yang tinggal di bantaran-bantaran sungai. Bahkan tidak sedikit yang tanpa bersalah menjadikan sungai menjadi tempat pembuangan sampah.
Pada 1895 pemerintah Hindia Belanda pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Saat itu Belanda sangat sadar Batavia adalah dataran rendah yang tentu saja terlanda bencana banjir karena daerahnya memang berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil).
BACA JUGA: Ritual Freemason dan Umat Yahudi di Rumah Setan Batavia
Grand design itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak Bogor hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta. Kini kawasan Puncak sudah semrawut dan beralih fungsi, sebagian sudah kehilangan hutan, akibat pembangunan vila-vila yang menyalahi tata ruang. Makanya jangan heran jika turun di Puncak maka Jakarta akan kebanjiran karena sudah banyak kehilangan daerah resapan air.
Banjir era Tarumanegara...