Home > Sejarah

Pelacuran Merajalela di Batavia, Jakarta Surga Bagi Para Pemburu Syahwat

Jakarta pernah punya kompleks pelacuran terbesar Kramat Tunggak dan striptease disajikan di beberapa klub malam.

 Pelacuran merajalela di Batavia. Bisnis pelacuran di Jakarta sudah ada sejak era Batavia. Foto: IST
Pelacuran merajalela di Batavia. Bisnis pelacuran di Jakarta sudah ada sejak era Batavia. Foto: IST

SIPILIS GARA-GARA 'PETIK MANGGA'

Di dekat Macao Po, masih di kawasan Glodok terdapat pelacuran kelas rendah Gang Mangga. Tidak heran kalau sakit ‘perempuan’ kala itu disebut ‘sakit mangga’. Kemudian dikenal dengan sebutan raja singa atau sipilis.

Di abad ke-19, sipilis termasuk penyakit yang sulit disembuhkan karena saat itu belum ditemukan antibiotik. Penyakit itu mungkin bisa dikatakan seragam dengan AIDS/HIV sekarang ini yang sudah menginfeksi sekitar 130 ribu hingga 150 ribu orang di Indonesia yang 80 persen diantaranya usia produktif 15 – 29 tahun.

BACA JUGA: Miyabi Datangi Bali, Jadi Teringat Soekarno Tawarkan Wanita Indonesia Jadi Budak Seks Tentara Jepang

Kompleks pelacuran Gang Mangga ini kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordir yang didirikan orang Cina yang disebut soehian. Lokalisasi ini ditutup pada awal abad ke-20 karena sering terjadi keributan. Tapi kata soehian tidak pernah hilang dalam dialek Betawi untuk menunjukkan kata sial. Dasar suwean (sialan).

Setelah penyerahan kedaulatan, kompleks pelacuran terdapat di berbagai tempat di Jakarta. Seperti Gang Hauber di Petojo yang terdiri dari Gang Hauber I, II, dan III yang oleh Walikota Sudiro pada pertengahan 1950-an diganti Gang Sadar. Tapi, si pelacur dan laki-laki hidung belang tidak sadar-sadar karena sampai awal 1980-an masih beroperasi.

BACA JUGA: Kerangkeng di Rumah Bupati Langkat Seperti Perbudakan di Zaman Belanda

× Image