
taKURUSETRA — Salam Sedulur… Di Pulau Jawa, candi menjadi saksi bisu kejayaan masa Hindu–Buddha. Nama-nama besar seperti Borobudur, Prambanan, dan kompleks Trowulan menempati urutan pertama deretan candi megah di tanah Jawa. Namun ketika menoleh ke wilah Jawa bagian barat alias Tanah Sunda, peta persebaran candi tampak nyaris kosong. Fenomena inilah yang kerap memunculkan pertanyaan: mengapa di Jawa Barat seolah tidak ada candi?
Meski tidak setenar Jawa Tengah, Tanah Sunda juga memiliki peninggalan candi yang masih terjaga. Meski jejaknya jarang dan sifatnya berbeda, akibat sejarah politik, bahan bangunan, dan perubahan lanskap.
Jika kita mengamati peta candi-candi besar, titik konsentrasi jelas terlihat di Jawa Tengah (Borobudur, Gedong Songo, Prambanan) dan Jawa Timur (kompleks Majapahit di Trowulan, Candi Penataran). Arkeolog Veronique Degroot dalam disertasi Candi, Space and Landscape: A Study on the Distribution of Temples in Java mencatat pusat-pusat kerajaan besar Sailendra, Mataram Kuno, dan Majapahit memusatkan pembangunan candi untuk kepentingan ritual negara dan legitimasi raja. Namun di luar wilayah tersebut temuan canti jauh lebih sedikit, termasuk di Jawa Barat.
Namun sedikit yang tahu jika Tanah Pasundah juga memiliki sejumlah situs penting. Contohnya adalah Candi Batujaya di Karawang. Di pesisir utara Karawang, komplek situs Batujaya mengungkap lebih dari 20 struktur bata yang diperkirakan berdiri antara abad ke-5 hingga ke-13.
Penelitian Balai Arkeologi dan sejumlah universitas menegaskan Batujaya sebagai pusat aktivitas keagamaan Buddha Mahayana awal. Berbeda dari Borobudur yang terbuat dari batu andesit, Batujaya memanfaatkan bata bakar, bahan yang lebih mudah rapuh di iklim tropis. Selain itu, struktur seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan menjadi bukti kuat pengaruh Hindu–Buddha telah hadir di Jawa Barat jauh sebelum berdirinya Kerajaan Sunda Pajajaran.
Di Garut juga ditemukan Candi Cangkuang. Candi itu berdiri kokoh di sebuah pulau kecil di tengah Situ Cangkuang. Candi batu sederhana berukuran sekitar 4,5 x 4,5 meter itu kerap disebut satu-satunya candi Hindu di Jawa Barat karena di dalamnya tersimpan arca Siwa yang menjadi bukti pemujaan Siwaisme.
Menurut catatan arkeolog dan penelitian Balai Arkeologi Bandung, bangunan ini diperkirakan berasal dari abad ke-8 hingga ke-9. Keberadaan makam Eyang Embah Dalem Arief Muhammad di samping candi, memperlihatkan kesinambungan antara jejak Hindu dan Islam dalam lanskap budaya Sunda.
BACA JUGA: Benarkah Rudal Israel Meledak di Langit Masjid Nabawi Kota Madinah?
Situs candi yang paling terkenal di Jawa Barat tentu saja Gunung Padang di Cianjur. Gunung Padang kerap memicu perdebatan sengit karena situs megalitik dengan teras-teras batu ini semula dipandang sebagai peninggalan megalitik biasa.
Namun sejak 2011, klaim sebagian peneliti bahwa di bawahnya tersembunyi “piramida” berusia puluhan ribu tahun memicu polemik. Sejumlah artikel ilmiah yang terlalu spekulatif bahkan ditarik kembali.
Hingga kini, konsensus arkeolog hanya menyebut Gunung Padang sebagai situs megalitik besar—bukan candi era Hindu–Buddha—tetapi penting sebagai bukti panjangnya sejarah hunian manusia di Tanah Sunda.
Lantas mengapa jejak candi di tanah Sunda bisa dihitung jari? Setidaknya ada sejumlah alasan yang membuat tidak banyak peninggalan candi yang pernah dan masih berdiri hingga kini.
Pertama pusat politik yang berbeda. Pembangunan candi besar pada masa Hindu–Buddha sangat bergantung pada patronase raja. Di Jawa Tengah dan Timur, kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram Kuno dan Majapahit menggunakan candi sebagai sarana legitimasi kekuasaan dan ritual pemujaan raja-dewa. Sementara Kerajaan Sunda —dengan pusat di Pakuan Pajajaran— memiliki tradisi politik berbeda dan tidak mengembangkan program monumental setara Mataram.
Alasan kedua bahan bangunan mudah rapuh karena tradisi arsitektur orang Sunda lebih banyak memanfaatkan kayu, bambu, dan bata yang mudah lapuk di iklim lembap. Batu andesit yang mendominasi candi Jawa Tengah jarang dipakai di Sunda. Sebaliknya, batu bata yang digunakan di Batujaya menunjukkan banyak bangunan ritual mungkin telah lenyap tertelan waktu.
Ketiga, proses tafonomi dan pemanfaatan ulang. Bencana alam, sedimentasi, dan aktivitas pertanian menimbun atau merusak situs. Batu dan bata kerap dipakai kembali sebagai pondasi rumah atau nisan. Catatan peneliti kolonial Belanda menyebut banyak arca dan batu candi kecil dipindahkan ke museum, membuat bukti lapangan semakin terputus.
Pola permukiman dan perdagangan di Tatar Sunda menjadi alasan keempat. Wilayah pesisir utara Sunda lebih terhubung ke jaringan maritim Nusantara. Pusat kegiatan ekonomi lebih berorientasi pelabuhan daripada pedalaman agraris. Pola pemukiman ini tidak mendorong pembangunan kompleks monumental di pedalaman seperti di Jawa Tengah.
Alasan terakhir adanya kontroversi ilmiah, seperti di kasus Gunung Padang yang menunjukkan bagaimana klaim sensasional dapat menyesatkan pemahaman publik. Arkeologi modern menekankan pentingnya metode ilmiah ketat agar tidak terjebak spekulasi yang mengaburkan sejarah nyata.
Meski langka dan nyaris tidak ada, bukan berarti Tanah Sunda miskin warisan budaya. Situs seperti Batujaya dan Cangkuang memberi gambaran unik tentang keragaman tradisi Hindu–Buddha di luar koridor Mataram. Penelitian sistematis dan konservasi menjadi kunci agar generasi mendatang memahami mozaik sejarah Jawa.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
