
KURUSETRA — Salam Sedulur… Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut gerhana bulan total akan terjadi pada malam ini, Ahad sampai Senin 7-8 September 2025. Masyarakat di beberapa wilayah Indonesia bisa menyaksikan Gerhana Bulan Total atau Blood Moon secara langsung dengan mata telanjang tanpa bantuan alat.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, masih kental mitos yang beredar tentang gerhana Bulan. Bahkan, mitos tersebut membuat masyarakat ketakutan setengah mati lantaran saat gerhana Bulan terjadi akan hadir Batara Kala yang datang untuk memakan Bulan atau Matahari.
Menurut Suwandono dan kawan-kawan dalam Ensiklopedi Wayang Purwa (1991: 265), Batara Kala adalah putra dewa tetapi berwujud raksasa karena terkena kutukan. Batara Kala adalah sosok raksasa jahat yang mengincar nyawa manusia, terutama anak-anak. Diceritakan Batara Kala diam-diam terbang ke surga dan mencuri Tirta Amertasari alias air abadi yang dipercaya bagi siapa saja yang meminum air tersebut akan hidup selamanya.
BACA JUGA: Sederet Mitos dan Takhayul Malam Jumat dalam Budaya Jawa
Namun aksi pencurian tersebut diketahui Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Candra (Dewa Bulan). Mereka pun melaporkan perbuatan raksasa ini ke Batara Guru, pemimpin para dewa. Belum sempat Tirta Amertasari tertelan oleh Batara Kala, tiba-tiba datang Batara Wisnu (Dewa Pemelihara Alam/Pelindung) yang diutus Batara Guru. Batara Wisnu langsung menebas batang leher Batara Kala.
Tubuh Batara Kala jatuh ke bumi, sementara kepalanya tetap melayang di angkasa. Karena itu Batara Kala sangat dendam kepada Batara Surya dan Batara Candra dan selalu mencoba menelan kedua dewa itu setiap ada kesempatan.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ibu hamil harus bersembunyi saat gerhana terjadi. Alasannya, janin yang ada dalam kandungan merupakan sasaran empuk dari Batara Kala.
Ibu yang sedang mengandung diwajibkan bersembunyi di tempat gelap, seperti di bawah atau kolong tempat tidur. Tujuannya agar bayi yang di dalam kandungan tidak keguguran saat gerhana berlangsung.
Dulu, mitos tersebut sangat diikuti. Sebab, jika melanggar akibatnya disebut sangat besar, seperti bayi yang dilahirkan akan cacat, berkulit belang hitam putih, sampai yang paling tragis adalah kehilangan nyawa.
Namun, masyarakat Jawa juga punya cara untuk menangkal bala, termasuk Batara Kala. Mereka menjalankan upacara ruwatan untuk menghindarkan diri dari kesulitan dan tidak dimangsa Batara Kala.
Ruwatan biasanya diselenggarakan sebagai usaha membebaskan manusia atau kelompok yang sedang diliputi berbagai masalah atau terbentur kegagalan, serta membersihkan diri dari kesialan, aib, dan dosa. Upacara ruwatan yang artinya kembali ke semula, biasanya digelar bersama pertunjukan wayang kulit dengan lakon yang berkisah tentang Batara Kala, Murwakala. Tak hanya di masyarakat Jawa saja, warga Sunda juga mengenal upacara "Ngeruwat" yang digelar bersamaan dengan pertunjukan wayang golek.
Tradisi ruwatan memang masih hidup di dalam masyarakat Jawa. Ritual ini bermakna pembebasan sekaligus penyucian manusia sukerto dari "dosa bawaan". Ruwatan dilakukan kepada para sukerto, anak-anak yang berdosa karena takdir, akan menjadi santapan Batara Kala.
Kisah di balik itu semua karena janji Batara Guru, ayah dari Batara Kala yang mengizinkan Batara Kala memangsa anak-anak sukerto. Namun, Batara Guru mengatakan ritual ruwatan akan menyelamatkan anak-anak sukerto dari santapan Batara Kala.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
