Apakah Merayakan Maulid Nabi Termasuk Bid’ah Dholalah? Ini Penjelasan Muhammadiyah

Apakah hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad?
Apakah hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad?

KURUSETRA — Salam Sedulur… Hari ini, 5 September 2025 bertepatan dengan 12 Rabiul Awal yakni hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wassalam. Di berbagai daerah Indonesia, ada yang menggelar acara tadarusan, ketimpringan, sampai tausyiah yang disampaikan para ulama. Namun, ada yang menganggap peringatan Maulid Nabi adalah bid'ah hingga haram karena Rasulullah tidak pernah mengajarkannya. Benarkah?

Maulid Nabi diperingati setiap 12 Rabiul Awal, sesuai tanggal kelahiran Rasulullah. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam pemberitaan di Muhammadiyah.or.id, menegaskan tidak ada dalil yang berisi larangan maupun perintah dalam memperingati Maulid Nabi Saw.

“Pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya,” tutur Amirudin Faza.

Kepala Kantor Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menegaskan hukum Maulid Nabi termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Namun, jika perayaan ini telah membudaya di masyarakat, penting untuk diperhatikan aspek-aspek yang memang dilarang Agama.

“Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbutan bid’ah dan mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad saw secara berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya,” terang Amir sambil mengutip hadis riwayat Umar bin Khattab yang terdapat dalam Shahih Bukhari.


Selain harus memperhatikan aspek yang dilarang agama, perayaan Maulid Nabi juga harus atas dasar kemaslahatan. Kemaslahatan di sini adalah menyadari betapa penting mengimajinasikan bagaimana kalau Rasulullah hadir pada zaman kita. Misalnya dengan cara menyelenggarakan pengajian atau acara lain yang sejenis yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi saw.

“Maulid Nabi Muhammad saw yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus mengandung manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan taqwa serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad saw,” terang Amir sambil mengutip QS. al-Ahzab: 21.

Meski menjadi tradisi mayoritas umat Islam Indonesia (dan Muhammadiyah), pada masa lalu juga ada sebagian umat Islam yang melarang peringatan Maulid Nabi. Setidaknya hal ini dapat kita baca dalam tulisan Kiai Mas Mansur (Ketua Majelis Tarjih 1928-1936 dan ketua PP Muhammadiyah 1937-1941) di dalam Panji Islam 25 Mei 1937 dan di Pedoman Masyarakat Nomor 16/1940. Kedua tulisan itu dapat dibaca di buku mas Mansur Karangan Yang Terseba” yang disunting Amir Hamzah Wirjosukarto.

Dua tulisan itu pertama tentang Hukum Memperingati Maulid Nabi dan yang kedua tentang Kedudukan Maulud dalam Islam. Pada tulisan pertama Mas Mansur mengemukakan polemik tentang hukum peringatan Maulid Nabi dan pendapat yang berkembang.


Sedang tulisan kedua memuat pendapat Mas Mansur tentang Maulud Nabi. Di sini Mas Mansur menulis sebagai berikut:

“Sekarang mari kita selidiki dengan seksama, bagaimanakah sebenarnya kedudukan maulud itu dalam Islam, agar hal ini hendaknya jangan meragukan bagi umat Islam tentang mendudukkannya. Terutama sekali hal ini, sudah berabad-abad dijalankan oleh umat Islam,sehingga pada masa sekarang ini dia dibuat sebagai adat kebiasaan, dikerjakan di mana-mana tempat, istimewa di tanah air kita Indonesia ini."

Cuma yang tinggal menjadi buah perbincangan kita, ialah: Apakah maulud itu termasuk perkara agama, ataukah dia hanya ada kebiasaan bagi umat Islam, untuk menghidupkan semangat dan perasaannya, menyadarkan jiwa raganya kepada jasa dan pengorbanan yang telah ditumpahkan oleh Nabi besar SAW. Itu, artinya bukan tergolong perkara agama?

Sedangkan di bagian paling akhir mas Mansur menulis, “Di samping kita menghormati hari maulud itu, janganlah kita anggap bahwa pekerjaan kita yang demikian itu termasuk suruhan agama, karena kalau demikian, nyatalah pekerjaan kita itu “bid’ah dhalalah” karena suruhan dari Rasul tidak ada. Hanya hal itu semata-mata timbul dari hati yang suci, hati yang rindukan turut mengagungkan hari maulud penghulunya . kalau umpamanya ada orang yang berkata: kenapa dilakukan pada bulan maulud saja, tidak dilakukan pada lain waktu. Kita jawab dengan ringkas: Sebabnya, ialah karena pada ketika itu, adalah sebaik-baiknya waktu, (psychologisch moment), sedang sesuatu barang yang dikerjakan pada yang bertepatan dengan waktunya itu, lebih utama dari sesuatu yang tak dikerjakan pada yang bukan waktunya yang asli.”.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.