
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA — Salam Sedulur… Turki sedang berduka setelah gempa bumi berkekuatan 7,8 magnetudo memporak-porandakan negeri dua benua tersebut. Indonesia dan Turki sudah lama menjadi persaudaraan, tak heran banyak warga Indonesia yang bersimpati dan bersedih karena gempa bumi yang membuat lebih dari 3.000 warga Turki meninggal dunia.
Turki dan Indonesia punya keterikatan persaudaraan dalam keimanan kepada Allah. Jauh dari era modern dan kemerdekaan, Turki sudah menjalin ikatan kuat dengan Indonesia.
BACA JUGA: Turki dan Suriah Digunjang Gempa 7,8 Magnetudo, Mengapa Gempa Bisa Terjadi?
Kisah persaudaraan itu bisa membekas kuat di Gedung Museum Tekstil. Gedung yang dibangun pada abad ke-19 tersebut awalnya adalah rumah pribadi seorang warga Prancis. Memang awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Prancis setelah negeri Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte.
Gedung ini merupakan salah satu tempat peristirahatan yang dibangun warga Eropa, khususnya warga Prancis, di wilayah Petamburan. Selain membangun tempat peristirahatan, mereka juga membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), dan Petamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt (kawasan Prancis).
BACA JUGA: Bersatunya NU dan Muhammadiyah Bikin Penjajah Jepang Kebakaran Jenggot
Gedung Museum Tekstil sebenarnya luas dan memiliki tanah lapang di bagian belakang gedung. Namun, gedung ini akhirnya dijual dan dihuni Konsul Turki Sayyid Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Ottoman.
Konsulat Turki ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda. Maklum saja, Ottoman saat itu adalah sebuah kesultanan yang menaungi umat Islam seluruh dunia.
BACA JUGA: Cara Mengetahui dan Ubah Password Instagram untuk HP Android
Ikatan erat persaudaraan seiman semakin kuat antara Indonesia dengan Turki setelah Sayyid Abdul Azis Al Musawi menikahi Siti Rohani, putri pejuang kemerdekaan Pangeran Sentot Alibasyah. Sentot Alibasyah adalah anak angkat Sultan Bengkulu terakhir. Pasangan Sayyid Abdul Azis dan Siti Rohani dikaruniai seorang putri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas.
Namun setelah Konsul Turki ini meninggal dunia pada 1885, rumah tersebut berikut dua buah bangunan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah utama, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayyid Abdullah. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.
BACA JUGA: Siapa Kakek yang Fotonya Sering Dipajang di Rumah Makan Nasi Padang yang Diharamkan
Cucu Abdullah bin Abbas Alatas, menjelaskan kakeknya menempati rumah barunya yang dibeli dari mertuanya Sayyid Abdul Azis, bersamaan dengan gerakan Pan Islam berkobar di Batavia. Sayyid Abbdullah juga salah satu aktiviis Pan Islam yang ditentang Pemerintah Hindia Belanda.
Sayyid Abbdullah beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Ia juga sangat bergairah membantu gerakan Pan Islam untuk melawan penjajah. Bahkan Sayyid Abbdullah mengirimkan empat putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah.
BACA JUGA: Download GB WhatsApp (GB WA) Pro V19.20 Terbaru, Bebas Iklan dan Anti-Blokir

GERAKAN PAN ISLAM
Pada 1916 Sayid menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab. Kakek dari mantan menteri luar negeri Indonesia, Ali Alatas dan mantan PM Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harian Utusan Hindia, surat kabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto sebelum dia mendirikan Sarikat Islam.
Sayyid Alwi juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini baru didirikan. Tak hanya itu, Sayyid juga juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya.
BACA JUGA: Asal Usul Bunga Tulip: Simbol Kerajaan Turki Ottoman yang Diklaim Milik Belanda
Dia lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) dan oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Sayyid memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu, bahkan dia disebut punya tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas lima ribu hektar.
Semasa hidup dia sering mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya.
BACA JUGA: Kedatangan Mesut Ozil Bangkitkan Kenangan Kesultanan Turki Ottoman Bantu Indonesia Lawan Penjajah
Sayyid yang meninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul Khair.
TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:
.
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja
> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab
> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan
> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
