
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA — Salam Sedulur… Tiga puluh tujuh tahun lalu saat Jakarta memasuki waktu Subuh, tepatnya 3 September 1985, Jakarta berduka, umat Islam bersedih karena kehilangan ulama tawadu KH Abdullah Syafi'ie. Ketika itu siaran radio As-Syafi’iyah ba'da Subuh mengumumkan meninggalnya ulama yang dikenal dengan panggilan Kiai Dulloh itu.
Tidak lagi terdengar suara lantang ulama Betawi itu, yang sejak 1967 selalu mengumandangkan dakwahnya setiap habis subuh. Radio yang banyak pendengarnya itu, terus mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran. Dengan suara lirih, penyiar mengumumkan meninggalnya almarhum dalam usia 75 tahun, pukul 00.30 saat menuju RS Islam.
BACA JUGA: Mengapa Orang Muhammadiyah tidak Mudah Tertipu Dukun?
Ratusan ribu warga Ibukota sejak pagi berduyun-duyun melayat ke kediamannya di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan. Masjid Al-Barkah, yang dibangunnya ketika almarhum berusia 23 tahun, harus berkali-kali menampung para jamaah saat berlangsung shalat jenazah. Sementara suara takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang.
Perjalanan hidup kyai kharismatik ini, rupanya sejak muda memang sudah ditakdirkan untuk tidak pernah berhenti mengajak orang mendekatkan diri kepada Allah. Seperti dituturkan putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie (yang sudah wafat pada 10 Juli 2021 — baca beritanya di sini), saat saya wawancarai pada September 2001, ayahnya Kiai Dulloh pada usia 17 tahun sudah memperoleh Soerat Pemberi Tahoean : Boleh mengajar di langgar partikulir.
BACA JUGA: Pesulap Merah Vs Dukun, KH Zainuddin MZ: Jangan Tertipu Dukun, Pemburu Hantu Pakai Sorban dan Gamis
Pada usia remaja inilah, KH Abdullah Syafi’ie mulai berdakwah. “Dan dimulai dari kandang sapi,” kata Kiai Abdul Rasyid. Ketika itu almarhum meminta izin kepada ayahnya, H Sjafi’ie bin Sairan untuk menggunakan kandang sapi sebagai kegiatan dakwah. “Sapi dijual, kandang dibersihkan, dilapisi bilik, lalu dipakai untuk madrasah”.
Tapi, begitu tawadhu-nya ulama Betawi ini. Biarpun namanya sudah tersohor, perguruan dan majelis taklimnya berkembang pesat, ia tidak menampakkan kesombongan sedikit pun. Selalu mau dekat dengan rakyat kecil. “Saya ini kan cuma khadam (pelayan).” Itulah kalimat yang sering diucapkannya. Maksudnya, dia hanyalah pelayan untuk mengajak masyarakat mendekatkan diri kepada Allah.
BACA JUGA: Kronologi Perseteruan Marcel Pesulap Merah Vs Gus Samsudin, Terbongkarnya Trik Kesaktian Dukun Palsu

Menurut KH Abdul Rasyid, ayahnya banyak mendorong generasi muda Islam untuk maju. Dengan mengajak dan memperkenalkan mereka diberbagai pengajian dan majelis taklim. Diantara dai muda yang dibinanya itu kemudian menjadi mubaligh-mubaligh handal.
Kyai Abdul Rasyid mengumpamakan ayahnya sebagai salah satu dari ulama Betawi yang ‘membabat hutan jahiliyah’. Karena ketegasannya dalam ber- amar makruf nahi munkar. Bahkan, pada usia muda, dengan mengendarai sepeda motor mendatangi berbagai pelosok kampung di antero Jakarta.
BACA JUGA: Sekarang Wayang Haram, Dulu Judi dan Prostitusi Dilegalkan
Ketika gubernur Ali Sadikin pada akhir 1960-an menggelar judi hwaa hwee, Abdullah Syafi’ie habis-habisan menentangnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap aliran kepercayaan, yang ketika itu hendak dilegalkan sebagai bagian dari agama. Almarhum tanpa mengenal ampun melabrak ketika RUU Perkawinan hendak disahkan, karena dianggap melanggar kaidah-kaidah agama. Menghadapi berbagai tantangan dalam berdakwah, termasuk backing-backingan, tidak membuatnya jera. Karena ia paling tidak senang melihat perbuatan zalim dan syirik.
Seperti juga ulama Betawi lainnya, almarhum tidak suka mengungkit-ngungkit apalagi harus saling bertengkar sesama umat dalam soal-soal khilafiah. Bagi beliau yang paling penting ialah bagaimana membuat orang beribadah dan bertakwa.
BACA JUGA: Operasi Petrus Berantas Begal dan Preman: Mayat Dikarungin dan Mengambang di Sungai
Dikenal sebagai orang yang berhati lembut, ia selalu berseru agar orang berpunya mau menyantuni sebagian hartanya untuk kaum dhuafa dan yatim-piatu. Dia sendiri pada 1978 membangun pesantren khusus untuk yataama dan masakin, tanpa bayar di Jatiwaringin, Bekasi.
Setidaknya, menurut KH Abdul Rasyid, sudah 350 yatim piatu yang mendapat bantuan dana dari As-Syafi’iyah. Di samping bantuan berupa beras, pakaian, dan uang kepada para dhuafa.
BACA JUGA: Kata Ente Ane dalam Budaya Betawi yang Viral Gara-Gara Jindan Penantang Pesulap Merah
.
TONTON VIDEO PILIHAN:
.
JANGAN LEWATKAN ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
> Humor Gus Dur: Jenderal Orba Menang Lomba Tebak Umur Mumi, Caranya Dipukulin Sampai Ngaku Sendiri
> Sejarah Sumpit yang Diharamkan Dipakai Umat Islam untuk Makan
>Tak Perlu Pakai Pawang, Begini Cara Muhammadiyah Cegah Hujan
> Pawang Hujan Mandalika, Ustadz Khalid Basalamah: Pawang Hujan Itu Dukun, Haram Hukumnya dalam Islam
> Humor Gus Dur: Gara-Gara Dikirimi PSK, Gus Dur Terpaksa Tidur di Sofa
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
