Rahasia Usia 40 Tahun: Belum Tua untuk Berhenti Berkarya, Sudah tak Lagi Muda Mengejar Ambisi Dunia

Saat usia 40 tahun.
Saat usia 40 tahun.

KURUSETRA — Salam Sedulur… Kata orang bijak, life begins at forty, hidup dimulai dari usia 40 tahun. Namun, saat usia memasuki kepala empat ada rahasia hidup yang terbuka satu per satu. Satu di antaranya mempersiapkan bekal saat panggilan berpulang datang.

Ketika usia 40 tahun datang, itu waktu yang bukan lagi soal menantang di puncak gunung, bukan pula soal seberapa banyak follower di media sosial. Usia empat dekade adalah waktunya berbicara tentang kematangan serta sebuah babak baru di mana kompromi antara dunia dan akhirat harus mencapai titik paling yahud.

Jika kita menegok ke belakang sejenak, sekitar 1.400 tahun silam, riwayat dari manusia paling agung dalam sejarah umat manusia: Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wassalam.

Muhammad resmi mengemban jabatan Nabi dan Rasulullah ketika usianya sudah matang: 40 tahun. Ketika itu Beliau mengemban tugas untuk membawa cahaya dari gelapnya zaman jahiliyah, umat yang menyembah berhala, penyelewengan konsep tauhid kepada Allah, hingga rusaknya moral, kepada zaman keemasan tepat di usia 40 tahun.

Itu bukan kebetulan, ini isyarat. Usia 40 adalah titik kulminasi kematangan fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Sebelum wahyu pertama turun di Gua Hira, Rasulullah Shalallahu Alahi Wassalam sudah mulai uzlah (mengasingkan diri), bertafakur, merenung. Beliau meninggalkan hiruk pikuk dagang, kekayaan, dan segala kebisingan Makkah, untuk mencari kebenaran yang hakiki.

Perjalanan hidup Rasulullah itu menjadi pelajaran bagi manusia 40+. Dunia boleh kita genggam, tapi jangan sampai ia mengikat leher kita. Di usia 40, Rasulullah memilih untuk upgrade diri secara spiritual, bukan sekadar mencari validasi diri di media sosial.


Di usia 40-an, tubuh manusia sudah memberikan sinyal sejumlah batasan. Jika di usia 20 sampai 30 tahun, begadang sampai Subuh demi deadline atau nonton bola tidak mencari masalah. Tapi ketika usia 40-an, badan akan terasa linu-linu.

Patut dicatat, kesehatan bukan lagi aset yang bisa diabaikan, tapi investasi paling berharga. Pepatah Arab menyebut “Ash-Shihhah tajun ‘ala ru’us al-ashihha’, la yarahu illa al-marid” (Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat, tidak ada yang melihatnya kecuali orang yang sakit).

Pepatah itu sejalan dengan ucapan penulis dan filsuf asal Skotlandia, Thomas Carlyle yang berkata, "He who has health, has hope; and he who has hope, has everything (Dia yang memiliki kesehatan, memiliki harapan; dan dia yang memiliki harapan, memiliki segalanya)."

Tanpa kesehatan, segudang uang pun terasa hambar. Meski pun tak memiliki uang juga bisa membuat kesehatan terganggu. Ini adalah fase bukan lagi bagaimana tebar pesona memamerkan ketampanan, tetapi bagaimana menjaga tubuh agar tetap prima dan menawan.

Karena itu, di usia 40-an, tidak sedikit praktisi kesehatan yang menyarankan untuk mulai fokus pada kualitas tidur, makanan, dan tentu saja, olahraga. Jika Presiden pertama RI, Ir Sukarno berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri," maka di usia ini, perjuangan kita adalah melawan godaan kasur dan mi instan tengah malam.


Tak hanya soal kesehatan, di usia empat dekade juga membuat pertemanan berubah ukuran. Pertemanan bukan lagi sekadar kuantitas nongkrong bareng, tetapi kualitas pertemuan. Pertemanan di usia ini adalah tentang support system, yang mengingatkan bukan hanya soal proyek baru, tapi juga soal sholat Dhuha, sholat tepat waktu, dan saling mengingatkan untuk mengejar tabungan akhirat yang mungkin masih minim.

Di dunia karier, ini adalah waktu untuk menuai dan berbagi. Bagi sebagian orang, usia 40 adalah puncak karier—jabatan mentereng, gaji selangit. Tapi, orang bijak melihat ini sebagai waktu untuk mentorship. Tujuannya untuk meninggalkan legacy alias warisan kepada para penerus.

Ini adalah fase di mana bergerak dari performer menjadi mentor. Pengalaman panjang menjadi modal penting untuk membimbing yang lebih muda. Tak perlu pelit ilmu, karena seperti ucapan Bung Hatta: "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki."

Usia 40+ adalah anugerah terbesar dalam karier. Kita tidak lagi impulsif seperti di usia 20-an yang mudah terbakar ambisi kosong. Di usia ini, integritas dan kejujuran adalah mata uang paling bernilai, jauh melebihi uang tunai. Keahlian teknis bisa dipelajari, tapi karakter matang lahir dari ujian waktu. Kini usia 40+ bukan sekadar berapa banyak uang di rekening, tapi berapa banyak orang yang kita angkat derajatnya.

Imam Syafi'i berkata, "Jadikanlah akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu."

Di usia ini, bagi sebagian orang mungkin sedang memegang kendali bisnis besar, tapi hati harus sudah mulai berlabuh ke dermaga keabadian.

Karena itu, rahasia usia 40+ sejatinya adalah ketaatan kepada Tuhan. Ulama besar Imam Al-Ghazali pernah menukil sebuah hadis yang bunyinya sungguh menampar: "Barangsiapa mencapai usia empat puluh tahun, namun kebaikannya tidak mengalahkan keburukannya, maka bersiaplah ia menuju Neraka!" (Diriwayatkan dalam Ihya Ulumiddin).

Peringatan itu juga ditegaskan dalam sebuah ayat Alquran. "Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: 'Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan kepada) anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim).'" (QS. Al-Ahqaf: 15). Ayat ini menjadi pegangan, bukan hanya tentang bersyukur, tapi juga tentang taubat, tentang amal saleh yang diridhai, dan tentang memikirkan masa depan spiritual anak cucu.

Tokoh besar Indonesia, Mohammad Natsir, yang juga dikenal sebagai ulama dan negarawan sejati, selalu menekankan pentingnya moralitas dan agama dalam setiap langkah hidup. Di mata Natsir, politik, ekonomi, dan peradaban harus berlandaskan iman. Karena itu, di usia 40+, ketaatan bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan primer. Ini adalah saatnya melipatgandakan sedekah, memanjangkan sholat, dan menajamkan lisan untuk berzikir, karena waktu kita di dunia ini, kawan, sungguh sangat terbatas.

Mantan Presiden kita, B.J. Habibie, pernah berkata: "Kualitas hidup tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual dan emosional, tapi juga oleh kecerdasan spiritual." Beliau mengajarkan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan harus sejalan dengan kedekatan kepada Sang Pencipta.


Jadi yang dibutuhkan pada usia 40 bukan pil ajaib, bukan pula operasi plastik, tetapi keseimbangan dan kesadaran. Kesadaran bahwa kita adalah musafir yang sudah melewati lebih dari separuh perjalanan. Bahwa setiap tarikan napas adalah anugerah sekaligus hitungan mundur.

Di usia 40+, seorang manusia sudah harus lebih tenang, gampang panik karena omongan orang lain. Mengutip ucapan penulis dan kolumnis Amerika, Ann Landers, "Di usia 20-an, kita khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Di usia 40-an, kita tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentang kita. Pada usia 60-an, kita menemukan bahwa mereka belum memikirkan kita sama sekali."

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi usia manusia menjadi beberapa fase, di mana fase 40-60 tahun disebut Kuhul (kedewasaan sempurna). Ini adalah waktu untuk konsistensi. Ibnu Katsir menukil bahwa seseorang yang mencapai usia 40, kebiasaannya—baik atau buruk—cenderung tidak berubah lagi. Contohnya kebiasaan baik seperti rutin sedekah, terbiasa tahajud adalah yang wajib dijaga. Sementara kebiasaan buruk seperti berkibah mungkin akan sulit dihentikan jika tidak dipaksakan.

Ini adalah momentum krusial untuk menghabiskan masa tua dengan sebaik-baiknya sebelum tiba masa Syuyukh (60 tahun ke atas). Jadikan sisa umur ini sebagai waktu panen. Salah satu tujuan hidup adalah harus mulai fokus pada kualitas ibadah. Jika dulu sholat terburu-buru demi rapat, sekarang rapat harus mengikuti waktu sholat. Memperbaiki kualitas hubungan dengan Allah, dengan kembali belajar Alquran, kuatkan zikir, dan pelihara hubungan baik dengan tetangga.

Imam Syafi'i, ketika mencapai usia 40 tahun, membiasakan diri berjalan sambil memakai tongkat. Ketika ditanya, beliau menjawab: "Agar aku selalu ingat bahwa aku adalah seorang musafir."

Usia 40+ harus menegaskan ini bukan akhir, melainkan puncak pendakian. Kaum 40+, adalah generasi unik. Kita menyaksikan transisi dari era analog ke digital. Kita punya pengalaman belasan tahun di dunia nyata, namun masih punya energi untuk menaklukkan dunia maya. Kita ada di persimpangan yang paling mengasyikkan: Terlalu muda untuk berhenti berkarya, tapi terlalu bijak untuk mencoba segalanya tanpa perhitungan.

Usia 40 bukanlah finish line. Ini adalah garis start untuk maraton yang paling krusial: maraton menuju legacy dan maraton menuju Jannah. Selama jantung masih berdetak, napas masih terhela, dan akal masih jernih, jangan berhenti memegang pena terkuat untuk menulis babak terbaik hidup.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.