
KURUSETRA.NET, Salam Sedulur… Anak kolong, istilah itu bukan sekadar nama, melainkan kata yang menumpuk sejarah, tentang ruang sempit tangsi, kebijakan kolonial, pola hidup militer, rasa malu sekaligus kebanggaan, dan warisan budaya yang terus berubah. Dari asrama militer alias tangsi, julukan anak kolong untuk anak-anak prajurit TNI lahir.
Istilah anak kolong berakar pada realitas fisik tangsi (asrama militer) masa kolonial dan pascakolonial. Tangsi yang menampung tentara berpangkat rendah pada zaman Hindia Belanda sering berdesak-desakan; tempat tidur tumpuk dan ruang tidur keluarga tentara sempit.
Anak-anak tentara terpaksa tidur di bawah dipan atau kolong ranjang, sehingga mereka lama-lama dipanggil anak kolong. Kebijakan kolonial yang memisahkan garnisun dan tata hunian bagi prajurit dengan perbedaan fasilitas berdasarkan kepangkatan, memperkuat kontras sosial.
Prajurit berpangkat rendah tinggal di ruang yang lebih sederhana, sementara prajurit perwira lebih leluasa. Di kondisi tersebut, tidur di kolong dipan bagi anak-anak prajurit berpangkat rendah menjadi simbol posisi sosial keluarga prajurit di dalam hierarki militer.
BACA JUGA: Mengapa Anak Tentara Dijuluki 'Anak Kolong'?
Di era Orba, istilah anak kolong diberikan sebagai bentuk ejekan. Anak kolong menjadi simbol kemiskinan, kenakalan, atau hidup “kasar” di lingkungan barak.
Stereotip anak kolong identik dengan kebebasan bergerak, main di lapangan, dan kadang terlibat kenakalan remaja. Namun, di sisi lain anak kolong juga menjadi kebanggaan karena mereka dikenal sebagai pribadi yang ketangguhan, disiplin, kedekatan komunitas, dan pemahaman pada pengorbanan orang tua yang mengabdi.
Yan Lubis dalam novel semi-otobiografi Anak Kolong terbitan Pustaka Sinar Harapan, 1995 menggambarkan kehidupan anak-anak di kompleks militer yang penuh dinamika: perkelahian kecil, rasa hormat pada seragam ayah, dan solidaritas sesama anak tentara. “Kami tumbuh di barak yang dindingnya tipis. Suara lars di pagi hari adalah jam weker kami. Di kolong ranjang ayah, kami belajar membedakan suara sepatu komandan dan suara hujan," tulis Yan Lubis dalam novel tersebut.
Namun julukan anak kolong juga menyimpan sisi gelap dan stereotip negatif menempel kuat. Anak kolong kerap kali cenderung nakal atau sulit diatur. Karena itu, di era Orba masih berkuasa, berkelahi dengan anak kolong sama saja mencari mati. Selain mereka ditempa kerasnya atmosfer militer, anak kolong juga dianggap tidak tersentuh karena punya bekingan kuat: ayah yang seorang tentara.
Pascaera reformasi, rumah dinas prajurit yang fasilitasnya mulai membaik, perlahan-lahan memudarkan istilah anak kolong. Tak ada lagi anak-anak prajurit TNI yang terpaksa memejamkan mata saat malam di bawah kolong ranjang.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
