
KURUSETRA — Salam Sedulur… Gonjang-ganjing Ayam Goreng Widuran yang mengandung minyak babi membuat umat Islam kesal. Pasalnya, kuliner legendaris asal Solo itu baru mengaku memakai bahan baku non halal untuk umat Islam setelah 53 tahun berjualan. Soal ayam goreng mengandung babi ini, mengingatkan kita akan candaan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang pernah diledek karena tidak makan daging babi oleh seorang pendeta.
Semasa hidupnya Gus Dur dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut kepada semua kalangan dan golongan. Termasuk kepada saudara sebangsa walau beda agama. Salah satu yang merasakan kehangatan pertemanan Gus Dur adalah Romo YB Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Romo Mangun. Keduanya kerap bertukar canda.
Gus Dur dan Romo Mangun sering bertemu. Seperti saat menaiki satu pesawat yang sama dari Singapura menuju Jakarta, Gus Dur dan Romo Mangun sama-sama saling bercanda.
BACA JUGA: Bukan Ayam Goreng Mengandung Minyak Babi, Menurut Gus Dur Ada Makanan yang Lebih Haram dari Babi
Saat di atas pesawat, guyonan keduanya pun dimulai ketika datang seorang pramugari menawarkan makanan. Romo langsung memesan daging babi, salah satu makanan favoritnya. Ketika daging babi datang, Romo pun iseng menawari daging babi kepada Gus Dur.
“Mari Gus, daging babinya enak lho,” kata Romo Mangun.
Gus Dur yang seorang kiai tentu saja menolak makanan haram tersebut. “Maaf Romo, saya tidak boleh makan daging babi,” kata Gus Dur halus.
“Sayang sekali. Padahal daging babi adalah daging yang paling enak di dunia,” goda Romo Mangun. Gus Dur pun hanya bisa diam diledek sahabatnya tersebut.
Dalam syariat Islam seorang Muslim haram hukumnya mengkonsumsi babi dan khamar. Persoalan ini sering juga menjadi pertanyaan non Muslim. Kendati telah ditunjukan bahwa larangan itu karena telah tersirat dalam Alquran namun banyak non Muslim merasa tak puas.
Mereka berupaya mencari tahu apa yang menjadi sebab sehingga dalam syariat Islam haram hukumnya memakan babi dan minum khamar. Tentang hal ini, Pimpinan Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan bahwa perbedaan antara seorang mukmin dengan kafir dalam amal perbuatannya terutama didasarkan dari niatnya.
Seorang yang beriman ketika mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, selalu mendasarkan tindakannya itu atas perintah dan larangan dari Allah SWT. Sebaliknya seorang kafir tidak pernah menjadikan perintah dan larangan Allah SWT sebagai landasan amalnya.
Misalnya, ketika seorang Muslim melakukan sholat dan ditanyakan kepadanya, mengapa dia shalat, maka jawabannya adalah bahwa karena Allah SWT telah memerintahkannya untuk sholat. Tentang sholat itu ada manfaatnya buat kesehatan atau ketenangan jiwa dan sebagainya, tidaklah menjadi landasan dasar atas shalatnya. Dan disitulah peran niat yang sesungguhnya.
Demikian juga ketika seorang mukmin meninggalkan khamar, zina, judi dan makan babi, niatnya semata-mata karena dia tunduk, taat dan patuh kepada larangan dari Allah SWT. Bukan sekedar mengejar hikmah dan tujuan yang bersifat duniawi.
“Tidak minum khamar bukan karena sekedar tidak mau mabuk, melainkan semata-mata karena Allah SWT mengharamkannya. Tidak mau zina bukan karena takut kena sipilis atau HIV, tetapi karena ada larangan dari Allah SWT. Demikian juga, tidak makan babi bukan karena takut ada cacing pita, melainkan karena Allah SWT sudah mengharamkannya,” kata ustaz Sarwat kepada Republika.co.id pada Selasa (22/8/2023).
Ustadz Sarwat menjelaskan orang kafir tidak pernah mendasarkan tindakannya itu karena iman dan ketundukan kepada aturan yang datang dari Allah SWT. Paling jauh, landasannya sekedar logika dan penemuan ilmiyah.
Padahal, sesuatu yang ilmiah itu justru bersifat nisbi dan sangat mudah berubah. Bila diamati, menurutnya banyak juga non muslim yang atas penemuan ilmiahnya ikut-ikutan berpuasa sebagaimana seorang mukmin.
Misalnya, karena kesimpulan ilmiah membuktikan bahwa dengan mengosongkan perut, tubuh akan semakin sehat. Maka mereka pun berpuasa sebagaimana orang mukmin.
Tetapi di sisi Allah SWT, puasa non-Muslim itu sama sekali tidak ada nilainya. Karena puasanya buka lantaran taat kepada Allah SWT, melainkan semata-mata karena kesimpulannya sendiri.
Penelitian ilmiah dan beragam hikmah serta rahasia ibadah seperti ini buat seorang mukmin tidak menjadi dasar mengapa dia berpuasa. Sebab dasar ibadah hanyalah semata-mata karena perintah dari Allah, bukan karena ingin sehat atau sebab-sebab lainnya.
“Bukan berarti kita menafikan adanya manfaat dan hikmah di balik setiap perintah dan larangan dari Allah SWT,” katanya.
Menurutnya, tentu manfaat dan hikmahnya banyak sekali kalau mau diungkap, bahkan selalu ada penemuan baru yang bersifat ilmiah dan mampu membuktikan kebenaran agama Islam. Termasuk hikmah dibalik pelarangan makan babi. Selain karena babi hidup lebih jorok dari hewan ternak lainnya, juga semua agama samawi baik Yahudi, Nasrani dan Islam, sepakat memposisikan babi sebagai lambang kebusukan dan kenajisan.
Banyak orang mengungkapkan bahwa babi itu kalau terpaksa bahkan mau makan kotorannya sendiri. Sementara hewan lainnya masih punya harga diri. Mendingan mati dari pada makan kotorannya sendiri.
Juga banyak yang mengatakan bahwa daging babi terlalu banyak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia. Karena makannya tidak terkontrol, apa saja dimakannya, sehingga tubuhnya pun mengandung segala jenis penyakit.
“Dan masih banyak lagi rahasia dan hikmah di balik pelarangan makan babi yang bisa dapatkan. Namun semua itu sekadar menambah keyakinan yang sudah ada di dalam hati kita. Bukan sebagai landasan utama. Dan buat kita, apakah di balik larangan makan babi itu ada hikmah atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketaatan kita kepada Allah SWT yang telah melarang kita makan babi,” katanya.
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
