Sejak Masa Kolonial, Sistem Pendidikan Lebih Memihak kepada Orang Berduit

Sekolah Rakyat. Sejak masa Kolonial, sistem pendidikan di Indonesia tidak memihak kepada masyarakat miskin.
Sekolah Rakyat. Sejak masa Kolonial, sistem pendidikan di Indonesia tidak memihak kepada masyarakat miskin.

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA — Salam Sedulur… Sistem pendidikan di Indonesia memang tidak memihak rakyat kecil. Dalam keadaan ekonomi morat-marit, banyak orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah putra-putrinya. Bukan rahasia lagi, untuk masuk TK sampai perguruan tinggi mereka harus membayar jutaan rupiah.

Tingginya biaya pendidikan ini sangat kontras dibandingkan tahun 1950-an sampai 1960-an. Saat di SR (Sekolah Rakyat) dan kemudian SMP pada masa-masa tersebut, saya hampir tidak pernah membayar uang sekolah. Murid SR (kini SD) tiap pagi mendapatkan jatah satu gelas susu. Bila sakit, dengan surat dari kepala sekolah, kami dari SR Jl Kramat III dapat memeriksa kesehatan gratis ke poliklinik di Jl Kramat VI, Jakarta Pusat.

.

BACA JUGA: Cerita UAH Mencium Harumnya Makam Mbah Moen yang Jasadnya Tetapi Utuh Setelah 4 Tahun Dimakamkan

Sopingi, pensiunan kepala SMP Negeri di Jakarta Selatan, membenarkan di masa-masa lalu sekolah umumnya gratis karena subsidi pemerintah. Bahkan, Sopingi yang telah dua tahun pensiun setelah 33 tahun jadi guru masih ingat kala uang kuliah di Universitas Indonesia (UI) hanya Rp 240 per tahun.

Padahal, kata kakek yang kini tinggal di Depok ini, masa itu keadaan ekonomi jauh lebih buruk dari sekarang. Contohnya, masih banyak siswa SR (SD) yang pergi ke sekolah telanjang kaki alias tanpa memakai alas kaki.

BACA JUGA: Indonesia 1950-an: Kemiskinan Merajalela, Parpol Cakar-cakaran, Anak Sekolah tak Dipusingkan PPDB

Kala itu uang jajan sepicis (10 sen). Uang segobang (dua setengah sen) masih cukup berharga. Pengalaman saya waktu di SMP, dari uang jalan harian bisa nonton di Megaria.

Yang sangat berbeda antara sekolah tempo doeloe dan sekarang adalah soal kendaraan. Sampai 1960-an, para siswa ke sekolah naik sepeda. Belum ada yang bermotor, apalagi bermobil.

BACA JUGA: Profil Lasminingrat yang Jadi Google Doodle Hari Ini, Perempuan Sunda Pejuang Pendidikan dari Garut

Pada masa itu, kerap diadakan pertandingan kasti antarsekolah. Karena lapangan-lapangan belum digusur, juga ada pertandingan sepak bola antarsekolah dan antarkampung. Tidak heran, tahun 1950-an PSSI merupakan kesebelasan yang tangguh dan disegani di Asia.

Pemerintah di era 1950-an mulai serius memberantas buta huruf…


Sekolah Rakyat. Sejak masa Kolonial, sistem pendidikan di Indonesia tidak memihak kepada masyarakat miskin.
Sekolah Rakyat. Sejak masa Kolonial, sistem pendidikan di Indonesia tidak memihak kepada masyarakat miskin.

BERANTAS BUTA HURUF

Pada awal 1950, saat baru saja penyerahan kedaulatan dari Belanda, 90 persen rakyat masih buta huruf (BH). Karenanya, di kampung-kampung melalui RT dan RK (kini RW), digalakkan gerakan pemberantasan BH.

Sementara itu, Belanda baru mulai membangun sekolah awal abad ke-20 saat banyaknya modal asing dan industri dibangun di Hindia Belanda. Untuk itu, perlu pekerja berpendidikan.

BACA JUGA: Sebelum Citayam Fashion Week Viral, Kampung Citayam Sudah Terkenal Sejak Zaman Kolonial

.

Khusus untuk pribumi, mula-mula didirikan sekolah desa dengan lama pendidikan tiga tahun. Sekadar bisa baca, nulis, dan berhitung. Kemudian, dibuka sekolah sambungan (vervolgscholen) dengan lama pendidikan lima tahun dan kemudian ditingkatkan menjadi enam tahun. Semuanya dengan pengantar bahasa Melayu (kini Indonesia).

Pada masa Hindia Belanda, Normaalschool merupakan sekolah pendidikan tertinggi yang dapat dicapai mereka yang sekolah Melayu. Pemerintah Kolonial lebih mengistimewakan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, seperti HIS (Hollands Inlandse School) setingkat SD sekarang. Sekolah ini khusus untuk anak pribumi. Namun yang diterima tidak sembarang orang karena khusus untuk anak-anak golongan ningrat atau priyayi.

BACA JUGA: Sejarah Gelar Haji di Indonesia, Diberikan Belanda untuk Redam Perlawanan Umat Islam

Untuk anak Belanda/Eropa atau mereka yang disamakan kedudukannya dengan Eropa didirikan Europse Lager School (ELS). Setamat HIS atau ELS dapat melanjutkan ke MULO (SMP). Kemudian, ke AMS (SMA). Dari HIS-ELS para murid juga dapat melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) dengan lama pendidikan lima tahun.

Sejak di HBS para siswa sudah diwajibkan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Tidak heran, bila Bung Karno dalam usia belum 20 tahun saat di HBS sudah membaca buku dan literatur dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Demikian pula H Agus Salim.

BACA JUGA: Asap Rokok Kretek Agus Salim Bikin Pangeran Philip tak Berkutik

Awalnya, jika pelajar ingin lanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus ke Belanda. Tapi, pada 1924 didirikan Technische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi) di Bandung atau ITB sekarang. Pada waktu bersamaan di Batavia didirikan Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hakim). Kini gedungnya ditempati Departemen Hankam di Jl Merdeka Barat.

Tiga tahun kemudian berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran yang kini menjadi Fakultas Kedokteran UI di Salemba. Sebelumnya, pada 1851 berdiri STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) yang pada 1908 para siswanya mendirikan gerakan Budi Utomo, yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional.

BACA JUGA: Agus Salim: Memimpin adalah Menderita, Memimpin adalah Melayani

Kalau dilihat pendidikan nasional hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok bangsawan atau priyayi, tapi apa bedanya dengan sekarang? Pendidikan sekarang hanya dinikmati kelompok berduit, sementara yang miskin harus tersingkir.

.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
>
Kiai Tampar Anggota Banser: Kiai Gak Dijaga Malah Gereja yang Dijaga!

> GP Ansor Bantah Anggota Banser Lecehkan Tsamara Amany: Fotonya Dicatut

> Humor Gus Dur: Pastor Lega Dikira Gak Jadi Diterkam Harimau, Ternyata Harimaunya Lagi Baca Doa Makan

> Sempat Tantang Novel Bamukmin Duel, Denny Siregar: Gak Jadi Deh, Gw Males Bulan Puasa Berantem

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU

> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan

> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.