humor gus dur humor gus durhumor gus dur

Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Jokowi tak bisa menahan tertawa saat mendengar kisah Presiden Keempat Republik Indonesia (RI), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang disampaikan oleh Menteri Koordinator (Menko) Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD.

Mahfud menceritakan, saat berlangsung gala dinner pada KTT ASEAN di Phnom Penh Kamboja, Sabtu 12 November 2022 malam dirinya duduk satu meja dengan Menteri dari Filipina, Maria Zenaida.

Mahfud lantas mengungapkan saat dirinya menceritakan kegelisahan dalam benaknya kepada Jokowi.

“Pak, tadi saya deg-degan saat Bapak akan menerima tongkat keketuaan ASEAN tahun 2023. Mengapa? tanya Pak Jokowi,” cerita Mahfud seperti dilansir dari nu.or.id.

BACA JUGA:Humor Gus Dur: Ragu Jadi Presiden karena Jarang Pakai Sepatu

“Dulu waktu Presiden Gus Dur akan melantik Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri untuk menggantikan Bimantoro, ada insiden. Pak Bimantoro yang harus menyerahkan jabatan Kapolri tidak hadir,” ungkapnya.

Menurut Mahfud, ketidakhadiran Bimantoro dilaporkan protokol istana ke Gus Dur. "Bapak Presiden, tongkat yang akan dialihkan tidak ada, Pak Bimantoro tak hadir," kata Mahfud menirukan cerita protokol Istana.

“Gus Dur kontan menjawab, begitu saja kok repot. Soal tongkat, beli saja di Pasar Senen,” dan pelantikan Kapolri dilanjutkan,” papar Mahfud.

Mendengar cerita Gus Dur ini, Jokowi dan Iriana tak bisa menahan tawa. “Pak Jokowi dan Bu Iriana tertawa,” tandas Mahfud.

===========

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ternyata pernah bawa pakaian dengan menggunakan kardus saat kunjungan kerja (Kunker) ke China, ketika dirinya masih menjabat sebagai Presiden RI.

Peristiwa tersebut diketahui Romo Franz Magnis Suseno saat berkunjung ke Istana, dan heran melihat ada tumpukan kardus mi instan di salah satu sudut kamar Istana Negara.

Kardus tersebut berisi pakaian dan sudah diikat rapi menggunakan tali rafia. Karena penasaran, Romo Magnis lalu bertanya kepada salah seorang staf Presiden.

"Itu pakaian punya siapa? Kok ditumpuk kayak gitu" tanya Romo Magnis pada salah satu staf presiden, seperti dikutiip dari akun Youtube Kepo Terus, yang juga pernah diunggah NU Online, Minggu (12/2/2023).

"Itu baju-baju presiden Gus Dur untuk berkujung ke Tiongkok," jawab staf presdien tersebut.

Romo Magnis terkejut dengan jawaban staf presiden itu. Melakukan kunjungan resmi kenegaraan tapi kok kayak mau mudik.

==========

JAKARTA – Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan pemimpin yang jauh-jauh hari telah memprediksikan suksesi pengganti Presiden Soeharto akan berlangsung pada 1998.

Saat itu, koresponden Time di Jakarta, David Liebhold, mendatangi kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, sekitar pertengahan November 1998.

Jurnalis senior itu menginvestigasi jaringan bisnis keluarga Soeharto dalam laporan bertajuk Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune ini mewawancarai Gus Dur setelah Tragedi Semanggi I.

Wawancara Liebhold diterbitkan Time edisi 23 November 1998 berjudul Muslim Leader Gus Dur: If I Run, I Will Win.

Pada 11-13 November 1998, demonstran mahasiswa telah memadati sejumlah ruas jalan utama ibu yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Massa memprotes penunjukan Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto karena dinilai mencederai semangat Reformasi, demikian dilansir NU.or.di, Senin (13/2/2023).

Pasalnya, Habibie dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Orde Baru sehingga layak turut ditumbangkan.

Baca juga: Gus Dur Ternyata Pernah Bawa Pakaian Dalam Kardus Saat Kunker ke China

Gus Dur dinilai sebagai tokoh penting dan paling berpengaruh di Indonesia lantaran Nahdlatul Ulama, organisasi yang dipimpinnya lebih dari satu dasawarsa, diklaim memiliki 20 juta anggota dengan total pengikut sebesar 40 juta saat itu.

Baca juga: Humor Gus Dur: Beli Tongkat Kapolri di Pasar Senen

Gus Dur pun diwawancari ketika tengah terbaring di tempat tidur akibat tekanan darah tinggi dan penyumbatan peredaran darah yang membuatnya hampir buta.

Kala itu, menurut Gus Dur, jika dirinya mampu menyatukan kekuatan dengan kelompok merah yang dipimpin Megawati, diyakini akan mampu menggeser Habibie.

Saat Liebhold meminta komentar Gus Dur terkait tuntutan demonstran agar Habibie mundur, justru ia menolak dengan keras. Menurut Gus Dur, melengserkan Habibie sebagai presiden adalah perkara yang tak realistis dan inkonstitusional.

“Kami berdua [Gus Dur dan Megawati] menyadari bahwa jabatan kepresidenan adalah masalah jangka panjang. Kita harus berhati-hati agar tidak dikuasai oleh emosi,” kata Gus Dur.

Pandangan Gus Dur itu juga sejalan dengan Amien Rais. Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini memberikan dukungan, meski secara terpaksa kepada Presiden Habibie hingga Sidang Umum MPR 1999.

“Habis, mau gimana lagi. Siapa yang mau menggantikan mereka sekarang ini. Ibarat pepatah, tak ada rotan akar pun jadi,” kata Amien Rais di depan media, Senin 9 November 1998.

“Tugas Habibie dan anggota DPR/MPR sekarang adalah menyelesaikan Sidang Istimewa MPR, Pemilihan Umum 1999, dan menyelenggarakan Sidang Umum MPR 1999. Setelah itu, rezim Habibie harus turun,” imbuh Amien Rais.

Gus Dur memprakirakan bahwa Pemilu 1999 akan berjalan secara bebas dan adil. Kata dia, negara lain tidak akan membantu Indonesia jika pelaksanaan pemilu berjalan seperti pada zaman Orde Baru.

Dia pun berharap agar pemilu dipantau setidaknya 30.000 orang, termasuk unsur perwakilan dari organisasi internasional dan regional. “Tidak mungkin mengadakan pemilihan palsu tanpa terdeteksi,” ujar Gus Dur.

Kepada Liebhold, Gus Dur mengakui bahwa sejak awal tidak setuju tentang ide menjadikan Habibie sebagai presiden. Alasannya, kata dia, karena Habibie tidak tahu urusan politik dan itu berarti ada yang 'memimpin' di baliknya.

Sehingga, jika situasi tidak bisa dikendalikan bukan tidak mungkin Panglima ABRI Jenderal Wiranto akan mengambil alih kursi kepresidenan.

Prediksi Gus Dur Pengganti Soeharto Berlangsung pada 1998

Gus Dur sebelumnya telah mempresiksi Soeharto akan turun pada 1998. Prediksi itu telah disampaikannya sejak 1992.

Menurut Gus Dur saat itu, wapres mendatang (periode jabatan 1993-1998), dilihat dari segala sudut, akan berasal dari ABRI. Salah satu dasarnya adalah jaringan ABRI juga akan turut mengamankan posisi pada suksesi 1998. Prediksi Gus Dur benar: Try Sutrisno, bekas ajudan Soeharto dan Panglima ABRI 1988-1993, akhirnya yang terpilih sebagai wapres.

Sebelumnya muncul wacana wapres dari kalangan cendekiawan, dan itu ia artikan Habibie, yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hanya saja, menurut pengakuan Gus Dur yang ia dengar dari Soetjipto Wirosardjono, Habibie menolak pinangan menjadi wapres Soeharto.

Majalah Matra edisi Maret 1992 memuat hasil wawancara Muchlis Dj Tolomundu yang mengikuti Gus Dur, dengan menyebut terlalu prematur untuk mengatakan suksesi pada Pemilu 1993.

“Sebab, suksesi itu baru akan terjadi tahun 1998. Karena pada 1993, jelas di atas kertas tidak akan ada suksesi,” katanya.

MPR periode 1993-1998, sambung Gus Dur, sebenarnya bukan menjalankan tugas suksesinya, tapi sebagai ancang-ancang, persiapan, menjelang suksesi yang sesungguhnya pada 1998.

“Itulah yang menjadikan MPR mendatang ini penting. Ia punya arti sebagai titik tolak penyiapan suksesi. Artinya, suksesi itu berangkat dari Sidang Umum MPR mendatang. Pola-pola penyiapan suksesi, lalu proses pelaksanaan suksesi, secara bertahap dilakukan dalam periode setelah Sidang Umum MPR 1993,” ujar Gus Dur.

Artinya, Gus Dur ingin bilang jika suksesi terjadi pada 1998, masih ada waktu dan napas lebih panjang untuk memproses munculnya suksesor. Gus Dur memperhitungkan untuk saat itu kekuatan Soeharto masih terlalu kuat.

“Untuk (pemilu) 1993, kelihatannya Pak Harto pasti jadi, biar tidak disiapkan segala," kata Gus Dur.

Siapa Pengganti Presiden Soeharto?

Presiden Soeharto saat terpilih pada 1993 telah berusia 72 tahun. Artinya jika kembali menjabat presiden pada periode selanjutnya, maka usianya mencapai 77 tahun. Usia yang dianggap terlalu tua untuk memimpin Indonesia saat itu.

Salah satu wartawan dan pengamat politik yang punya analisis tajam soal suksesor Soeharto adalah Salim Said. Jurnalis senior ini menulis analisis politik yang diminta oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung pada 1996.

Tulisan ini pada mulanya bersifat personal. Menurut Salim, Soeharto sebenarnya mengajukan Siti Hardianti alias Mbak Tutut, anak sulungnya, sebagai jago yang ia elus.

Sebagai langkah pertama, Soeharto mengamankan DPP Golkar dengan menempatkan Tutut di posisi penting. Melalui R. Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat yang sangat loyal kepadanya dan dianggap sebagai representasi 'ABRI hijau' (tentara dari kalangan santri), Soeharto juga berusaha mendekati kelompok-kelompok Islam modernis.

Pendekatan ini paling tidak bermakna dua hal bagi Soeharto: melepaskan diri dari ketergantungan politik kepada ABRI dan mencuci dosa politiknya di masa lalu yang represif terhadap kelompok Islam.

Kalkulasi politik Soeharto jika DPP Golkar dan para legislatornya di DPR/MPR sudah diamankan, Soeharto tinggal meraup dukungan sosial dari kelompok Islam. Jika kelak ia mundur, Soeharto tinggal meneruskan kekuasaan kepada Mbak Tutut yang sudah mendapat sokongan kuat dari kelompok di luar ABRI.

“Bagi yang mengamati tingkah laku politik Soeharto akhir-akhir ini sulit menghindari kesan bahwa yang mempunyai peluang besar menggantikan Soeharto adalah Tutut. Dalam rangka itulah, orang harus melihat langkah-langkah Pak Harto mendorong putri sulungnya terlibat dalam kepemimpinan Golkar,” tulis Salim dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.

Pandangan Salim Said itu juga dibaca dengan jeli oleh Gus Dur. Paling tidak sejak 1996, Gus Dur kerap membawa Tutut berkeliling dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia mengenalkan Tutut kepada para kiai di beberapa basis NU.

“Dengan terciptanya hubungan kemitraan antara Islam dan ABRI, maka kedua kekuatan utama ini diharapkan oleh Bapak Presiden menjadi soko guru pendukung kepemimpinan Tutut, sebagai pelanjut kekuasaan ayahandanya. Gus Dur tampaknya mengerti strategi Soeharto ini dan menyediakan diri menuntun Tutut berkunjung ke berbagai pondok pesantren,” catat Salim.

Keakraban Gus Dur dan Tutut terlibang unik. Di mana, saat itu Gus Dur merupakan salah satu simbol oposisi terkuat dan semua orang tahu bahwa Soeharto tidak menginginkannya memimpin NU lagi.

Hanya dua tahun sebelum safari pesantren itu, Gus Dur bisa memenangi Muktamar NU 1994 di Cipasung. Sementara Tutut dan Hartono adalah dua orang yang begitu getol ingin menyingkirkan Gus Dur.

“Walaupun Tutut bekerja sama erat dengan Hartono dalam usahanya menggulingkan Gus Dur dua tahun sebelum ini [pada Muktamar Cipasung 1994], ia sekarang sangat ingin rujuk dengan Gus Dur. Tutut sangat ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia seorang yang patut menjadi pewaris kursi kepresidenan,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur.

Kedekatan Gus Dur dengan Tutut adalah salah satu momen politik penting di pengujung kekuasaan Soeharto ketika isu suksesi bukan lagi hal yang tabu dibicarakan. Ini tidak hanya menandakan kejelian Gus Dur dalam membaca situasi, tapi juga menunjukkan betapa perhitungan politiknya bisa melampaui permusuhan masa lalu.

Tidak sampai tiga tahun kemudian, Reformasi membuat perhitungan politik Gus Dur meleset. Pasalnya, Gus Dur sendiri yang jadi presiden