
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA — Salam Sedulur… Peristiwa kelam pernah terekam sejarah saat sedikitnya 10 ribu warga keturunan Tionghoa yang ditinggal di Batavia dan sekitarnya dieksekusi mati oleh VOC. Tidak ada asap jika tidak ada api tentunya, pembantaian yang membuat kali di Glodok berubah menjadi warna merah tersebut karena pemberontakan para warga keturunan China.
Namun perlawanan yang diberikan warga keturunan China saat itu juga bukan tanpa alasan. Para warga keturunan China melawan setelah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari pemerintah Hindia Belanda. Apalagi setelah banyak warga yang menganggur usai pabrik gula di Batavia saat itu bangkrut. Terjadi banyak pengangguran yang membuat meningkatnya angka kriminalitas.
BACA JUGA: VOC Buang Penjahat dan Gelandangan Keturunan China ke Sri Lanka
Pemerintah Hindia Belanda saat itu juga mengeluarkan kebijakan yang kelewat kejam. Mereka menindas warga Tionghoa, bahkan menangkap dan membuang ribuan warga Thionghoa ke Sri Lanka. Puncaknya beredar kabar jika sebelum sampai ke Sri Lanka yang saat itu dalam kekuasaan Belanda, para tawanan Tionghoa dieksekusi mati dengan cara dibuang ke laut.
Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai-pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap etnis Cina. Jam malam pun diberlakukan di Batavia. Pada tanggal 10 Oktober 1740, gubernur jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Cina.
BACA JUGA: Download Video YouTube Jadi MP3 Pakai YTMP3, Cepat dan Mudah Cukup Ketik Judul Lagu

Begitu biadabnya pembantaian itu, hingga para pasien termasuk bayi-bayi yang berada di RS Cina (kira-kira di depan Stasion KA Beos), juga dibunuh. Orang-orang Cina di penjara bawah tanah di Balaikota (stadhuis) yang berjumlah 500 orang, semuanya juga dibunuh.
Untuk menggambarkan dasyatnya peristiwa tersebut, Willard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta menulis, ”Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.”
BACA JUGA: Citayam Tanah Para Jawara: Kisah Heroik Tole Iskandar dan Legenda Raden Sungging Melawan Belanda
Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang Cina dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang-barang mereka habis dirampok. ”Pendeknya, semua orang China, baik bersalah atau tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut,” tulis Hanna.
Ketika peristiwa menakutkan ini terjadi, perkampungan Tionghoa berada kira-kira di sebelah utara Glodok, di Kalibesar. Kemudian VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.
BACA JUGA: Megahnya Hotel der Nederlanden, Hotel di Batavia yang Populer Hingga Eropa
Kala itu, yang menjadi kapiten Cina adalah Nie Hoe Kong. Dia dituduh menjadi aktor intelektual dan dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa menyedihkan itu. Dia dijebloskan ke penjara pada 18 Oktober 1740 oleh gubernur jenderal Adrian Valckenier (1737-1741).
Setelah melalui persidangan yang melelahkan, bertele-tele dan dipolitisir, Nie Hoen Kong divonis 25 tahun penjara dan diasingkan ke Sri Lanka Setelah mengajukan keberatan, kapiten Cina ini akhirnya dibuang ke Maluku. Rumahnya, di sekitar Kalibesar, ditembaki dengan meriam, dan ia pun dipenjara selama 5 tahun di benteng Robijn.
BACA JUGA: Sebelum Citayam Fashion Week Viral, Kampung Citayam Sudah Beken Sejak Zaman Kolonial
Pada 12 Februari 1745 dia diangkut sebagai tawanan ke Maluku disertai beberapa orang keluarganya dengan kapal De Palas. Setelah beberapa lama ditahan di tempat pembuangan, dari hari ke hari kesehatannya makin menurun. Dia meninggal pada 25 Desember 1746 dalam usia muda: 36 tahun.

Setelah peristiwa pembantaian warga Cina, gubernur jenderal Valckenier digantikan oleh mantan panglimanya, Baron van Imhoff. Kediamannya itu kini dikenal sebagai Toko Merah. Memang diperkirakan di sekitar tempat itulah terjadi pembantaian di luar perikemanusiaan.
Kalau bagi masyarakat Cina warna merah berarti kegembiraan, tapi kali itu merupakan duka nestapa. Karena, mengalirnya ribuan darah korban pembantaian.
Suasana kota sangat kalut. Para prajurit VOC, bahkan kelasi-kelasi yang kapalnya bersandar di Bandar Sunda Kalapa, diminta untuk melakukan pembantaian. Mereka merampok, membakar dan menjarah toko-toko, serta tanpa mengenal malu memperkosa wanita-wanita China.
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja
> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.
