Dibilang dari Negeri Kadrun, Imigran Yaman Sebarkan Paham Sultan Ottoman Turki Khalifah Dunia

Warga Hadramaut (Yaman Selatan) yang datang ke Nusantara. Narasi Imigran Yaman rusak Indonesia ramai di media sosial, padahal Yaman adalah negeri para habaib yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan agama Islam. Foto: IST
Warga Hadramaut (Yaman Selatan) yang datang ke Nusantara. Narasi Imigran Yaman rusak Indonesia ramai di media sosial, padahal Yaman adalah negeri para habaib yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan agama Islam. Foto: IST

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA — Salam Sedulur… Kehadiran masyarakat Arab di Nusantara tak dipungkiri ikut mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Seminar internasional bertajuk Warisan Budaya Arab di Indonesia: Percampuran Budaya Indonesia – Hadramaut (Yaman) di Jakarta pada 2009 sempat digelar untuk mempertebal bukti tersebut.

Dalam seminar yang lebih banyak menyoroti peran keturunan Arab di Indonesia baik dari segi agama, budaya, ekonomi, dan politik ini, Menteri Agama saat itu Said Agil al Munawar yang juga berdarah Arab menyebutkan, jumlah keturunan Arab di Indonesia pada 2009 sekitar lima juta orang, sebagian besar dari Hadramaut. Pendapat senada dikemukakan Prof LWC van den Berg, orientalis dan pakar hukum Belanda, yang pada tahun 1884-1886 mengadakan penelitian mengenai orang Arab di Hadramaut dan di Indonesia.

BACA JUGA: Benarkah Yaman Negeri Kadrun dan Imigrannya Datang untuk Rusak Indonesia?

Menurut Van den Berg, orang-orang Arab yang bermukim di nusantara umumnya berasal dari Hadramaut. Hanya satu dua di antara mereka yang datang dari Muskat di Teluk Parsi, Hijaz, Mesir atau Afrika Utara.

Sebelum mengadakan penelitian, Van den Berg menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Arab dan Hukum Islam (1878-1883). Saat itu ia juga menerjemahkan kitab fikih karangan An-Nawawi Minhaj at-Talibihn ke dalam bahasa Prancis, bahasa ilmiah yang lebih umum dipakai ketika itu ketimbang bahasa Inggris.

Pada 1884, penelitian mengenai orang Arab dilakukan di Batavia lewat wawancara, observasi, dan analisis surat yang dikirim dari dan ke Arab. Tahun berikutnya, ia mengadakan perjalanan ke berbagai tempat dan kota yang banyak dihuni komunitas Arab di Nusantara.

BACA JUGA: Apa Kira-Kira Pendapat Gus Dur Soal LGBT


Dalam kunjungan ke kelompok Arab di Tegal maupun Surabaya, Van den Berg menemukan beberapa kitab kumpulan khutbah Jumat yang menyebut Sultan Istanbul (Turki) sebagai kepala pemerintah (khalifah) yang sah yang dengan rajin memerangi kaum kafir. Kitab ini dicetak di Bombay (Mumbai) India. Menurut Van den Berg, tidak ada bahaya dalam penyebaran itu karena baik khatib (pribumi) maupun warga pribumi tidak mengerti isi khutbah itu. Sampai 1960-an, para khatib masih menggunakan khutbah dalam bahasa Arab yang umumnya tidak dimengerti pendengarnya.

Mr Hamid Algadiri, tokoh masyarakat Arab, memuji sikap Van den Berg yang dinilainya lebih obyektif dan tidak Arabphobi seperti Snouck Hungronje. Menurutnya, Van den Berg sebagai orang yang membela asimilasi keturunan Arab dengan pribumi yang justru ditentang keras Hungronje.

BACA JUGA: Gus Baha Jelaskan Surah Al-Kahfi: Di Surga Terbebas dari Istri Cerewet, Intinya Semuanya Bahagia

Hungronje dalam upaya pemisahannya menempatkan orang-orang Arab dalam kampung khusus. Van den Berg juga berbeda pendapat dengan orang Belanda pada umumnya saat itu yang menganggap orang Arab juga merupakan bahaya laten sehingga harus pula diawasi dengan ketat. Pendapat ini dibantah Van den Berg.

”Memang orang Arab sering taat dalam melaksanakan agamanya, tetapi tidak mengajarkan agama secara paksa dan fanatik.”

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Mudik ke Jombang Disetiri Kiai Wahab Malah Bikin Jantung Dagdigdug

Orientalis Belanda ini meyakinkan para navigator dan pedagang Arablah yang telah memperkenalkan Islam di nusantara. Ia memaparkan, Aceh menjadi tempat pertama yang mereka singgahi, kemudian Palembang, dan abad ke-18 di Pulau Jawa. Sebelum 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di daerah jajahan Belanda.


Dalam beberapa catatan, mereka dirincukan dengan orang Benggali dan orang asing yang beragama Islam. Sejak 1870, pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat sehingga perpindahan penduduk dari Hadramaut menjadi lebih mudah. Sejak pelayaran melalui kapal uap, umumnya tidak lagi melalui Aceh, tapi Singapura dan Batavia. Menurut statistik (1885), di Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Madura.

Yang menarik dalam tulisan Van den Berg, justru di Aceh bangsa Arab jumlahnya paling besar dibandingkan di tempat lain manapun, dan tidak pernah bermukim secara berkelompok seperti di tempat lain. Di Batavia, karena semakin banyak pendatang Hadramaut, pada 1844 pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni yang ketika itu dinamai kapiten atau kapten Arab. Seperti juga orang Cina dan berbagai etnis lainnya di nusantara yang ditempatkan dalam satu kampung, seperti Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Makasar, Kampung Bali, dan lainnya.

BACA JUGA: Muhammadiyah Bangun Wisata Halal di Malang, Ada Taman Bermain dan Waterboom

Orang-orang Arab ini, kata Van den Berg, menetap di Pekojan yang artinya tempat orang Koja (sebutan untuk orang Benggali, India). Ketika ia mengadakan penelitian (1884-1886), orang Benggali tidak ada lagi. Saat itu penduduk yang ada mayoritas Arab dan hanya beberapa gelintir Cina.

Sejak sekitar 1970-an, orang Arab menjadi minoritas dan orang Cina berganti menjadi mayoritas. Ia menggambarkan kala itu wilayah Pekojan sangat kumuh, namun tampaknya orang Arab tidak terlalu menderita karenanya. Sekitar satu setengah abad lalu itu, orang Arab juga sudah banyak tinggal di daerah pinggiran (kini Jakarta pusat), seperti daerah Krukut dan Tanah Abang.

BACA JUGA: 10 Negara yang Larang LGBT, Pelakunya Bisa Dihukum Mati

Di Cirebon, kapiten Arab diangkat pada 1845. Seperti juga di Batavia, kampung Arab di sini dulunya tempat tinggal orang Benggali. Pada 1872 koloni di Indramayu dipisahkan dari Cirebon dengan mengangkat seorang kapiten (kepala koloni) Arab.

Hal serupa juga terjadi di Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bangil, Lumajang, Besuki, Banyuwangi, Surakarta, Sumenep, dan berbagai tempat di nusantara terdapat kapiten Arab. Ini dimaksudkan, antara lain, untuk memisahkan keturunan Arab dengan pribumi.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
>
Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Humor Gus Dur: Mudik ke Jombang Disetiri Kiai Wahab Malah Bikin Jantung Dagdigdug

> Humor Gus Dur: Ketiduran di Makam Ketika Ziarah Tengah Malam, Pas Bangun Malah Dikira Hantu

> Humor Gus Dur: Orang Jepang Sombong Mati Kutu di Depan Sopir Taksi

> Rektor ITK Singgung Manusia Gurun, Teringat Humor Gus Dur Tentang Unta Hewan Gurun yang Pendendam

> Kiai Tampar Anggota Banser: Kiai Gak Dijaga Malah Gereja yang Dijaga!

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU

> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.